WFH-Kerja Atau Tidur

WFH-Kerja Atau Tidur

“Memang Kamu Beneran Bekerja di Rumah ?”

“Selama WFH, Kamu Beneran Kerja Atau Tidur ?

Pernah salah seorang sahabat bercerita mengenai seorang pimpinan perusahaan yang gundah dalam menghadapi sistem WFH. Sebut saja perusahaan PT Z. Terucap dalam sebuah meeting, pimpinan PT Z menyampaikan “WFH-kamu kerja atau tidur” kepada karyawannya. Pimpinan PT Z ini merasa tidak nyaman bila tidak benar-benar melihat secara langsung karyawannya bekerja. Ia terus beranggapan bahwa karyawannya tidak akan bekerja sungguh-sungguh ketika tidak benar-benar diawasi.

Di awal pandemi perusahaan PT Z terpaksa memberlakukan sistem WFH. Mengingat regulasi pemerintah yang mengharuskan pembatasan sosial. Mau tidak mau PT Z pun memberlakukan sistem ini.

Sistem WFH yang diberlakukan PT Z ternyata juga berdampak dengan penerapan sistem penyesuaian gaji. Faktor financial perusahaan yang dijadikan sebagai alasan oleh PT Z. Ketika berjalan ternyata penyesuaian gaji tidak lain karena disebabkan oleh rasa kekhawatiran pimpinan perusahaan untuk membayar gaji yang full kepada karyawan. Kekhawatiran ini disebabkan oleh asumsi pimpinan PT Z yang menganggap karyawannya pada saat WFH itu tidaklah benar benar bekerja.

Sistem WFH pun tidak berjalan optimal. Seperti seringnya karyawan PT Z diminta untuk meeting secara offline di kantor. Adapun alasan yang disampaikan karena membutuhkan koordinasi yang intens untuk penyesuaian strategi bisnis di masa pandemi. Padahal meeting tersebut bisa saja dilakukan secara online.

Pada akhirnya PT Z hanya menerapkan WFH selama satu bulan saja dan mewajibkan kembali karyawannya untuk WFO dengan protokol kesehatan yang ketat.

Digital Collaboration

Ketakutan- ketakutan akan anggota tim yang tidak bekerja dengan optimal pada saat WFH tentu juga menghantui pikiran kita sebagai seorang leader. Kita mungkin merasa bingung bagaimana agar anggota tim tetap bekerja secara optimal di rumah. Yang notabene kita sendiri tidak dapat benar-benar bisa mengawasi 100% layaknya seperti pada saat WFO.

Tentu kita juga bertanya-tanya, apakah kekhawatiran tersebut merupakan hal yang wajar ? Saya dapat katakan ini merupakan hal yang wajar. Karena perasaan itulah yang memang banyak dirasakan oleh leader-leader lainnya. Tetapi yang harus kita refleksikan adalah, apakah kita akan terus berlarut -larut dengan asumsi-asumsi tersebut. Atau kita mencoba mencari beragam cara yang tepat dalam proses kolaborasi tim secara digital.

Pandemi jelas mengubah banyak kebiasaan. Temasuk dengan bagaimana kita melakukan kolaborasi tim. Kita barang tentu sudah terbiasa melakukan koordiansi secara langsung dengan tatap muka. Bahkan mungkin menjadi sebuah kebiasaan yang memang mendarah daging dan sulit untuk dirubah. Tetapi pandemi berkata lain. Kita dipaksa untuk memanfaatkan teknologi digital untuk mencari solusi dalam berkolaborasi. Kolaborasi tim dengan gaya baru yang disebut dengan digital collaboration.

Walaupun saat ini kita didukung dengan teknologi yang super canggih (seperti : virtual meeting, cloud computing, whatsapp hingga beragam team collaboration platform dan lain-lain), membangun sebuah chemistry dalam tim bukanlah semudah seperti membalikan telapak tangan. Ada tim yang berhasil dan menciptakan trend baru dengan gaya kolaborasi tim yang baru, tetapi banyak yang gagal dan kembali dengan cara lama. Seperti yang terjadi di PT Z

Karena pada prinsipnya teknologi hanyalah sebuah tools, bukan menjadi solusi utama. Semua justru dikembalikan lagi pada interaksi masing masing anggota tim serta bagaimana seorang leader menjaga dinamika tim agar tetap align dan positif.

Adapun beberapa tantangan yang dihadapi dalam kolaborasi team di era pandemi ini antara lain :

  1. Kita kehilangan kesempatan yang baik untuk dapat mengkomunikasikan secara tatap muka mengenai sebuah informasi.
  2. Rendahnya kepercayaan di antara anggota tim. Seperti apakah tim ini dapat bekerja sesuai dengan tugasnya atau tidak jika tida diawasi secara langsung
  3. Masing-masing anggota tim memiliki kapasitas adaptasi terhadap teknologi yang berbeda-beda

Ketiga tantangan tersebut tentu menjadi momok tersendiri. Apalagi jika kita benar -benar tidak memahami apa yang harus dilakukan. Dampaknya bukan membentuk tim yang align seperti yang kita bayangkan. Justru malah memperkuat rasa tidak percaya, stress, burn out pada masing-masing anggota tim. Lalu apa yang dapat kita lakukan sebagai seorang leader ?

Alex Ostewalder dalam bukunya “High Impact Tools” memperkenalkan tiga langkah yang dapat kamu lakukan untuk membangun tim yang efektif dimasa pandemi :

  1. Secara aktif membangun dan menjaga kejelasan setiap aktivitas atau pekerjaan di sebuah tim
  2. Secara aktif membangun dan menjaga rasa kepercayaan (trust) dalam sebuah tim
  3. Mixing metode interaksi masing masing anggota dengan menggunakan metode online maupun offline

Membangun dan Menjaga Kejelasan Aktivitas Tim.

Mungkin dari kita pernah merasakan saat meeting online yang terlalu lama atau bahkan terkesan menjadi useless. Kita merasa lebih banyak zoom meeting dari pada bekerja yang konkret. Ini disebabkan karena adanya ketidakjelasan pada aktivitas yang harus dilakukan pada masing masing anggota tim itu sendiiri.

Seperti tidak jelasnya siapa melakukan apa, tidak adanya prioritas pekerjaanhingga adanya aktifitas yang sebenarnya overlapping.

Dalam hal ini, seorang leader harus benar-benar aktif dalam memberikan kejelasan aktivitas masing-masing anggota tim. Seperti kejelasan pekerjaan yang dilakukan, tujuan apa yang ingin dicapai, siapa melakukan apa, dan aktifitas-aktifitas yang selaras dengan tujuan.

Dengan begitu tim dapat benar-benar paham dengan baik apa yang menjadi pekerjaanya dan target apa yang harus dicapai.

Sebagai alat bantu, kita dapat menggunakan tools yang dinamakan dengan TAM (Team Alignment Map). TAM memiliki 4 pilar yang dapat kita exercise bersama tim.

Source : High Impact Tools

pertama joint objective. Pilar ini mengenai kesepakatan bersama apa yang akan dikerjakan, apa yang ingin dicapai, dan apa saja yang memang harus diselesaikan.

Pilar kedua Joint Commitment. Pilar yang mendeskripsikan siapa mengerjakan apa dan kapan akan diselesaikan. Pilar ini harus muncul saling keterbukaan satu sama lain

Pilar ketiga Joint Resources. Ini bicara mengenai hal-hal apa saja yang dibutuhkan team untuk menyelesaikan objective yang telah disepakati

Pilar keempat Joint Risk. Melakukan exercise bersama tim untuk menyepakati kemungkinan kemungkinan yang menghambat dan bagaimana cara untuk mengatasinya.

Tentunya proses penentuan pilar-pilar tersebut, tim harus terbuka satu sama lain dan saling memberikan masukan satu sama lain. Sehingga di akhir membentuk kesepakatan yang jelas untuk perjalanan aktifitas tim.

Membangun dan Menjaga Kepercayaan (Trust) dalam Sebuah Tim

Membangun trust dalam pandemi menjadi utama. Dengan bangunan trust yang baik anggota tim akan merasakan rasa aman. Seperti rasa aman dan percaya untuk dapat mengungkapkan ide, pendapat, pertanyaan, melakukan kesalahan ataupun rasa dipercaya bahwa mereka bener-benar bekerja optimal pada saat WFH

Perasaan inilah yang disebut oleh Amy Edmondon sebagai Psychological Safety. Dengan adanya rasa aman ini tentunya akan membentuk kepercayaan satu sama lainnya

Amy Edmondon membagi situasi atau iklim sebuah tim menjadi empat kategori. Ini terbentuk dari hubungan antara psychological safety dengan standard performance sebuah tim.

Source : High Impact Tools
  1. Apathy zone : Iklim yang terbangun pada anggota tim yaitu apatis. Kita akan melihat anggota tim seperti seseorang yang hanya ada raganya tetapi jiwanya tidak di tempat.
  2. Anxiety Zone : kondisi dimana susana yang terbangun penuh dengan tekanan. Suasana ini membuat anggota tim merasa tidak nyaman dan terus tertekan dengan target yang ada. Sedangkan situasi psikologis rasa aman anggota tim tidak terbangun dengan baik.
  3. Comfort Zone : Anggota tim akan merasakan situasi yang nyaman. Dimana ia merasa aman, bebas akan lingkungan ia bekerja. Zona ini akan membuat anggota tim terlena. Hal ini disebabkan tidak adanya standard yang kuat dalam acuan perfomance yang ingin dicapai dalam pada masing masing anggota tim.
  4. Learning Zone : Situasi ini justru menjadi situasi yang ideal yang harus dibangun dalam setiap tim. Karena situasi learning zone akan memberikan kesempatan pada anggota untuk terus mencapai perfomancenya tanpa merasakan situasi yang terancam. Karena kingkungan psikologis yang dibangun pada zona ini yaitu situasi lingkungan psikologis yang percaya satu sama lain.

Kita bisa juga membangun kepercayaan sebuah tim dengan tools sederhana. Tools ini dinamakan dengan the team contract. Tools yang dapat membantu kita dan tim bersama sama membuat ground rules, value dan behaviors yang diharapkan serta meminimalisir sebuah konflik.

Source : High Impact Tools

Terdapat dari dua kategori yang perlu disepakati dalam tools ini secara bersama sama. Yang pertama kategori IN. Kategori ini merupakan kesepakatan anggota tim mengenai hal-hal apa saja yang memang menjadi ground rule yang harus dilakukan. Seperti durasi meeting yang tidak boleh berlama-lama, hadir ontime dalam zoom meeting, cara kita menyampaikan pendapat, cara kita memberikan feedback hingga penyelesaian pekerjaan yang ontime.

Yang kedua adalah kategori OUT . Kategori ini adalah ground rule atau kesepakatan yang memang tidak boleh dilakukan. Seperti menunda nunda pekerjaan, mengitimidasi, lalai dan lain lain.

Mixing Metode online dan offline

Salah satu tantangan WFH lainnya adalah perbedaan masing-masing anggota tim dalam berdaptasi terhadap teknologi. Walapun semakin banyak tersedianya teknologi yang mumpuni untuk berkolaborasi secara digital, tetapi tidak menjadi mudah bagi sebagian anggota tim untuk menggunakannya.

Penting sekali bagi kita menyepakati untuk menggunakan platform yang sederhana dan mudah digunakan oleh seluruh anggota. Baik platform untuk berkomunikasi, project management, files sharing maupun tools dalam problem solving.

Selain menyepakati penggunaan teknologi apa yang digunakan. Kita juga dapat melakukan melakukan mixing pada saat pertemuan meeting. Sesekali kita dapat menggunakan cara offline untuk dapat kembali membangun refreshment serta bounding terhadap tim. Tentunya dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan,

Pada akhirnya suka tidak suka kita harus siap melakukan kolaborasi tim secara digital dengan baik. Terlebih kita tidak akan mengetahui kapan pandemi akan berakhir.

Jadi, tim anda pada saat ini, Kerja atau Tidur ?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *